Pagi
yang crowded. 10.20 waktu Yogya. Antrian
di depan papan lebel pesawat sudah panjang. Lion Air, Garuda Air, Batik Air,
Wings Air, dll… Kesibukan tampak tak hanya orang-orang di teller mengurus tiket
dan check in, namun juga kesibukan
mereka mendorong troli dorong barang-barang bawaan. Ada yang sibuk dengan
pemanfaatan jasa balut plastik barang, ada yang sesekali melihat toko-toko
kecil penjual makanan dan kerajinan tangan khas Yogya. Ada juga yang hanya
sekedar duduk di bangku tunggu. Yang mengharukan, ada saja sekelompok orang
yang sedang menikmati momen perpisahan. Mungkin keluarga, temen, kerabat, yang
akan pulang atau akan pergi jauh meninggalkan mereka yang menangis tersedu.
Fida ikut terharu.
Fida
melirik punggung kedua kakak yang masih sibuk registrasi barang bawaan untuk
bagasi. Ia mundur beberapa langkah. Sesekali mendongakkan kepala. Ia takut
tiba-tiba tumbah dan kepergok kakak. Tidak, kakak hanya pulang ke kota
kelahiran, ya walaupun mungkin akan lama tak bertatap wajah lagi.
Batas
antar, hanya sampai depan teller bagasi. Artinya hanya bisa sampai disini Fida
mengantar kakak. “Kakak hanya pulang, insyaAllah lain waktu tak jenguk lagi
nduk, ya” Kak Rani meredakan. Fida tersenyum. Mencium tangan kedua kakak.
Dipandangi mata keduanya lekat-lekat. Betapa senang Fida kedatangan keluarga. “Hati-hati
kak…” Fida melow. Kedua kakak saling menatap, lanjut tersenyum. Mungkin mereka
faham betapa sedihnya sang adik di tinggal pulang. “Gapapa… kapan-kapan kan ketemu
lagi… Ya sudah, Kak Rani, Kak Rina, pulang ya… Assalamu’alaykum…” tepuk pundak
Fida, keduanya.
Fida
masih saja memperhatikan kedua kakak berjalan hingga sampai di zona pemeriksaan
bawaan. Sesekali menjinjitkan kaki, memiringkan kepala ke kiri, menggeser
berdirinya, mundur hingga agak jauh, untuk tetap berusaha tak kehilangan pandang
jilbab lebar kedua kakak dari belakang kejauhan. Hingga mulailah kelabu biru
hatinya. Sedih mengelayut tanpa izin. Ia masih memperhatikan. Kedua kakak sudah
selesai proses pemeriksaan diri dan bawaan. Tinggal keduanya masuk ke ruang
tunggu penerbangan penumpang. Fida berharap sang kakak sekali lagi menoleh
kebelakang.
Benar!
Kak Rani menoleh kebelakang! Tepat! Matanya langsung tertuju ke sosok Fida yang
berdiri jauh seorang diri. Kak Rani melambaikan tangan sambil tersenyum! Fida
segera membalas senyum dan turut melambai tangan tinggi sambil jinjit kaki. Satu
detik. Singkat sekali. Tak tampak lagi. Sepi! Fida masih mematung ditengah keramaian
orang. Menatap kedepan. Entah apa yang diperhatikan, toh sang kakak sudah tak
tampak. Ia tertunduk. Berjalan langkah mundur perlahan, dengan mata masih
tertahan pada pandang saat kak Rani melambai tangan. Fida tertunduk, mendekati
pintu keluar.
Kak Rani dan Kak Rina sebenarnya bukanlah kakak kandung Fida, hanya kakak angkat. Tepatnya, kakak mentor yang dikenal saat Rohis dan beberapa kegiatan di kampus murabbi ngajinya. Keduanya teman murabbi ngaji Fida dulu di Sumatera. Tapi keduanya sudah seperti kakak sendiri. Fida sayang. Hingga, ia masih berjalan tertunduk. Langit yang cerah, serasa pekat.
Terlanjur
tangis yang tertahan saat laju motornya. Basah pipinya, mengalir dingin. Pikirannya
melayang, tiba-tiba teringat almh. Kak Wida, kakak kandung Fida satu-satunya.
Lima tahun yang lalu, kak Wida pergi karena maag akut. Usia pergi yang terbilang
muda, 20 tahun, sama dengan usia Fida sekarang. Mungkin, Fida rindu akan sosok
seorang kakak. Kakak yang selalu memberi pundak untuk lelah dan sejuta masalah
Fida. Tempat curahan hati Fida, tempat Fida berbagi perasaan, tempat
ngambek-ngambekan. “Kak Wida… ya Allaah, ampunilah segala dosanya… berilah
tempat yang indah untuknya disana… Sayangilah ia seperti ia menyayangi kami
sekeluarga…aamiin… ” do’a Fida dalam hati, masih beriring nafasnya yang
tersengal. “Untuk Kak Rani, dan Kak Rina, lindungi mereka selalu ya Raabb…”
lanjut do’a Fida.
Istigfar
ia lafazdkan. Menarik nafas yang panjang. Hingga merah trafick lamp, sudah tak sesegukan lagi. Ah, bukankah kini ia punya
banyak sekali sosok Kakak di tempat tinggal yang sekarang? Banyaaak sekali!
Fida tersenyum, memuji Ia tanda syukur. Walaupun mungkin tetap saja yang ia
rindukan sebenarnya adalah sosok kakak kandung: almh. Kak Wida, namun
setidaknya Allah telah mengganti dengan yang lebih banyak lagi. Fida tersenyum.
#Fabiayyi ‘alaa irabbikumaa tukazdibaan… nikmat yang mana lagikah yang
kan kau dustakan…?
#Semua kakak, Fida sayang
kalian karena Allaah… :*
Tidak ada komentar:
Posting Komentar