Pages

Diberdayakan oleh Blogger.

Kamis, 05 September 2013

Ketika Payung Bertasbih ^_^





Pekat malam merambat. Selebung gelap tampak langit. Di bawah rinai hujan yang perlahan deras, perempuan bertudung biru itu semakin mempercepat langkahnya. Ransel hitam di punggung kini hijrah di pelukan. Menatap ransel itu, hingga tiba-tiba tubuhnya mengkomando langkah untuk menepi. Berteduh, di bawah atap bangunan kampus dan 15watt cahaya yang memperjelas basah tubuhnya. Ah, jika bukan karna laptop ini, Fita tentu nekat bermandikan hujan, meneruskan jalannya yang tertunduk melawan deras rinai. Kedua tapak tangannya mengusap ransel yang basah, menghilangkan titik-titik basah yang belum terserap. Pun memastikan buku-buku dan laptop terkondisikan.

Tak mengapa pikirnya. Mengusap kotak kaca kecil dan jarum bening yang bertengger di pergelangan tangan, ia belum sholat magrib. Pandangannya kini tertuju ke arah mushola diseberang sana. Jika ia menerobos deras ini, bisa dipastikan kuyup seluruhnya. Belum lagi harus tegok kanan-kiri waspada kendara laju cepat. Namun jika tidak segera, keburu isya’ yang memanggil. Hingga matanya menerawang, di dalam bias tatapan itu tersemat sebuah asa yang hanya perempuan itu yang tahu maknanya. Bibirnya kini basah melafadz do’a dan tahmid atas nikmat hujan yang turun. Sembari merefleksi langkahnya sejauh senja ini. Hingga tiba-tiba terkacaulah, dengan sesosok makhluk berpenampilan ’ikhwan’ berpayung, melintas. Meliriknya sekali. Ah, bukan hal yang penting pikirnya.

Masih terjadi syuro’ di pikirannya :D antara lari dan tetep berteduh. Masih memeluk erat ransel dan coba mencari cara. Hei, si ‘ikhwan’ itu lewat lagi. Kali ini melirik, lalu menatap selintas, menunduk lagi. Sang ‘ikhwan’ itu baru saja keluar dari masjid depan, pasti sudah sholat magrib, dan dapat jama’ah awal, cemburunya. Eh, sesuatu sempat terlintas di pikir Fita, siapa dia? Sedari lewat terus menatap? Jadi risih. Hingga, Fita berusaha mengingat-ingat, adakah ia mengenal sosok laki-laki bercelana hitam congrang, bertubuh tegap tinggi itu, Fita mencoba menerka. Hingga kesimpulannya: Fita tak mengenal, jadi anggap saja angin lalu. Atau mungkin ia menatap tembok, kaca, atap, atau apapun dibelakang berdirinya.

Jlep !.  Sang ikhwan berbalik arah, kali ini sengaja menyapa Fita. “Kamu ga bawa payung atau mantol ya? Sebentar ya, pake punya saya, tak ambilkan…” sapa sang ‘ikhwan’.  Tanpa menunggu jawaban Fita, sosok itu pergi berlalu lagi. Mimik Fita semakin mengerucut, keningnya mengerut, siapa dia? Hitungan menit berlalu, masih dengan hati Fita yang dilema, sapa itu terdengar lagi. “Ini, payung dan mantolnya, ambil saja…” Ikhwan itu kembali lagi yang kini bersama mantol dan payung disodorkan. “Oh maaf, terima kasih, tidak perlu repot.” Jawab Fita singkat. Toh, Fita tidak mengenal orang ini, dan ia juga tak ingin merepotkan orang lain, sungguh tak ingin, apalagi makhluk bernama ‘ikhwan’, hadeeh…(-_-) tidak... “Sudah ambil saja, saya ikhlas kok…” setengah paksa ikhwan itu. “Terima kasih, sekali lagi saya tak ingin merepotkan orang lain…” bela Fita. “Saya ingin membantu, moso ditolak, ambil saja, hujan deras…” ikhwan itu bersikukuh. “Maaf, terima kasih mas” jawab Fita dengan harap sang ikhwan segera berlalu. Fita melirik sekilas mimik wajah ia yang kecewa. “Oke, kalo begitu, bagaimana kalo saya pinjam saja, besok saya kembalikan ke tempat ini juga?” tawar Fita yang berusaha mengalah dan menghargai. “Jangan, belum tentu saya besok bisa mampir kesini, dan malah ribet nanti. Ini, mantol dan payungnya, pakailah…” bela sang ikhwan tak mau kalah.

 Hingga percakapan senja itu masih bergulir mempertahankan prinsip masing-masing. Yang satu ingin bersikeras membantu, yang lainya ingin mempertahankan iffah (rasa tidak ingin meminta pertolongan atau memberatkan orang lain, walaupun dalam keadaan sangat butuh sekalipun). “Begini, saya beli saja payung dan mantolnya…” tawar Fita sekali lagi. “Tidak perlu, saya bukan jual payung, ini buat kamu, ini saya taruh disini, terserah kamu!” ikhwan itu belalu, segera menghilang dari depan pandang. Kalimatnya bernada ending kecewa. Pergi, hingga punggungnya tak tampak lagi. Hanya payung itu? Fita hanya menatap payung dan mantol yang tergelatak tak jauh di hadapan.

Baru kali ini ada orang yang niat menolong dengan agak paksa. Hmmm, ya sudah pake sajalah, batin Fita. Fita bersama payung dan mantol melangkah menyeberang jalan dengan perasaan tak karuan, warna hati celupan warna warni. Dasar ikhwan aneh… Hingga ia lanjutkan lagi tahmid dan dzikirnya, diiring istigfar berkali-kali, bersama payung yang mengiring langkah ditemani deras hujan senja itu. 

#Cerita ini hanya Fiktif belaka, jika ada kesamaan nama, gelar, jabatan, atau lainnya, itu hanya kebetulan semata…
#Hehe, tapi terinspirasi dari curcol seorang santri cholihah saat kelas Tafsir Hadist-nya Ust. Ahmad Dahlan :D

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

 

Blogger news

Blogroll

About