Pages

Diberdayakan oleh Blogger.

Rabu, 28 Agustus 2013

Engkau Tetap Murabbiku





Dosen Matkul Sastra Indonesia baru saja mengakhiri kuliah di kelas itu. Mahasiswa sudah berlamburan keluar dalam hitungan detik. Adzan dhuhur memanggil untuk bersegera memenuhi seruanNYA. Wida merangkul beberapa teman dan memboyongnya ke Masjid kampus yang tak jauh dari kelas. Dzuhur berjama’ah.

“Widaa, kita duluan ya… Assalamu’alaykum…” seru Ajeng dan yang lain kompak. Ah, selalu saja mereka terburu-buru selepas sholat, apalah salahnya untuk sekedar duduk dulu beristigfar atau berdo’a, atau tilawah, atau sekedar muhasabah, diwaktu yang sudah longgar kuliah ini. Selalu terbersit do’a dalam hati, semoga lain waktu mereka bisa tilawah bersama seperti ketika dulu mereka masih ‘melingkar’. Wida membuka mushaf kecil merah jambu dan melanjutkan target tilawahnya untuk hari itu. “Fabiayyiaalaa irabbikumaa tukazdibaan…” Wida sampai di ayat ke dua puluh lima, hingga ia akhiri dengan menyelesaikan QS. Ar-Rahmaan. 

“Assalamu’alaykum Wida…” seorang menyapa dari sebelah belakang kanannya. Seorang wanita dengan pakaian kurung dan jilbab lebar berwarna hijau gelap. Jika saja masyarakat yang melihat, maka mereka akan berasumsi bahwa wanita ini adalah akhwat salaf. Hanya bedanya tiada cadar yang menutup wajah. Wida menjawab dengan salam. Wida mendongak dan tersenyum lebar. “Mbak Anis? Ya Allah mbak Anis?” menatap wajah. Pandangan itu bertemu. Yang dipandang ikut tersenyum.

Mbak Anis segera merangkul dan menyapa hangat Wida. Wida seketika memeluk sosok wanita itu. “Wida kangen Mbak Anis…. Mbak Anis kemana aja…. Sibuk apa….?” Wida segera menodong dengan pertanyaan sayang. Wanita itu menjawab dengan senyum, menatap hingga mata keduanya bertemu dan berbinar. Indahnya ukhuwah. Cinta karna Allah, berpisah karna Allah,  pun bertemu kembali karnaNya. “Mbak sayang Wida karna Allah…”

MasyaAllaah…kalimat itu singkat, namun menggetarkan hati Wida dan Mbak Anis sendiri. Mbak Anis tak banyak bicara, hanya kalimat itu cukup mewakili semua. 

          Mbak Anis faham betul maksud Wida mengajaknya bertemu di persegi masjid kampus lantai dua ini. Tabayyun, bahasanya. “Jadi, mbak Wida sudah tidak ‘Tarbiyah’ lagi?” akhirnya terlontar juga pertanyaan itu, pertanyaan yang sensitif sekali. Mbak Anis menimpali dengan nadanya yang khas “Mbak tentu tarbiyah, dimanapun tarbiyah… sudah sejak kita bernafas hingga hari ini tarbiyah itu menjadi sebuah keharusan. Yah, tapi mbak faham maksud Wida, Tarbiyah ya. Mbak bisa belajar dari manapun, dari siapapun, dari lebel apapun. Bagi mbak, mana yang menurut mbak baik, mana yang menurut mbak bisa diambil sebagai pelajaran, itulah yang mbak ambil… mbak rasa Wida juga faham…” jawab mbak Wida penuh hati-hati. Mengharu biru, mata Wida berkaca-kaca. “Engkau tetap Murabbiku, sampai kapanpun…” Mbak Anis menunduk sesekali, menyembunyikan rasa haru.


Tidak ada komentar:

Posting Komentar

 

Blogger news

Blogroll

About