Dosen Matkul Sastra Indonesia baru saja mengakhiri kuliah di kelas itu. Mahasiswa sudah berlamburan keluar dalam hitungan detik. Adzan dhuhur memanggil untuk bersegera memenuhi seruanNYA. Wida merangkul beberapa teman dan memboyongnya ke Masjid kampus yang tak jauh dari kelas. Dzuhur berjama’ah.
“Widaa,
kita duluan ya… Assalamu’alaykum…” seru Ajeng dan yang lain kompak. Ah, selalu
saja mereka terburu-buru selepas sholat, apalah salahnya untuk sekedar duduk
dulu beristigfar atau berdo’a, atau tilawah, atau sekedar muhasabah, diwaktu
yang sudah longgar kuliah ini. Selalu terbersit do’a dalam hati, semoga lain
waktu mereka bisa tilawah bersama seperti ketika dulu mereka masih ‘melingkar’.
Wida membuka mushaf kecil merah jambu dan melanjutkan target tilawahnya untuk
hari itu. “Fabiayyiaalaa irabbikumaa tukazdibaan…” Wida sampai di ayat ke dua
puluh lima, hingga ia akhiri dengan menyelesaikan QS. Ar-Rahmaan.
“Assalamu’alaykum
Wida…” seorang menyapa dari sebelah belakang kanannya. Seorang wanita dengan
pakaian kurung dan jilbab lebar berwarna hijau gelap. Jika saja masyarakat yang
melihat, maka mereka akan berasumsi bahwa wanita ini adalah akhwat salaf. Hanya bedanya tiada cadar
yang menutup wajah. Wida menjawab dengan salam. Wida mendongak dan tersenyum
lebar. “Mbak Anis? Ya Allah mbak Anis?” menatap wajah. Pandangan itu bertemu.
Yang dipandang ikut tersenyum.
Mbak
Anis segera merangkul dan menyapa hangat Wida. Wida seketika memeluk sosok
wanita itu. “Wida kangen Mbak Anis…. Mbak
Anis kemana aja…. Sibuk apa….?” Wida segera menodong dengan pertanyaan
sayang. Wanita itu menjawab dengan senyum, menatap hingga mata keduanya bertemu
dan berbinar. Indahnya ukhuwah. Cinta karna Allah, berpisah karna Allah, pun
bertemu kembali karnaNya. “Mbak sayang Wida karna Allah…”
MasyaAllaah…kalimat itu
singkat, namun menggetarkan hati Wida dan Mbak Anis sendiri. Mbak Anis tak
banyak bicara, hanya kalimat itu cukup mewakili semua.
Mbak
Anis faham betul maksud Wida mengajaknya bertemu di persegi masjid kampus lantai
dua ini. Tabayyun, bahasanya. “Jadi, mbak Wida sudah tidak ‘Tarbiyah’ lagi?”
akhirnya terlontar juga pertanyaan itu, pertanyaan yang sensitif sekali. Mbak
Anis menimpali dengan nadanya yang khas “Mbak tentu tarbiyah, dimanapun
tarbiyah… sudah sejak kita bernafas hingga hari ini tarbiyah itu menjadi sebuah
keharusan. Yah, tapi mbak faham maksud Wida, Tarbiyah ya. Mbak bisa belajar
dari manapun, dari siapapun, dari lebel apapun. Bagi mbak, mana yang menurut
mbak baik, mana yang menurut mbak bisa diambil sebagai pelajaran, itulah yang
mbak ambil… mbak rasa Wida juga faham…” jawab mbak Wida penuh hati-hati.
Mengharu biru, mata Wida berkaca-kaca. “Engkau tetap Murabbiku, sampai
kapanpun…” Mbak Anis menunduk sesekali, menyembunyikan rasa haru.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar