Pekat malam merambat. Selebung
gelap tampak langit. Di bawah rinai hujan yang perlahan deras, perempuan
bertudung biru itu semakin mempercepat langkahnya. Ransel hitam di punggung
kini hijrah di pelukan. Menatap ransel itu, hingga tiba-tiba tubuhnya mengkomando
langkah untuk menepi. Berteduh, di bawah atap bangunan kampus dan 15watt cahaya
yang memperjelas basah tubuhnya. Ah, jika bukan karna laptop ini, Fita tentu
nekat bermandikan hujan, meneruskan jalannya yang tertunduk melawan deras rinai.
Kedua tapak tangannya mengusap ransel yang basah, menghilangkan titik-titik
basah yang belum terserap. Pun memastikan buku-buku dan laptop terkondisikan.
Tak mengapa pikirnya. Mengusap kotak kaca kecil dan jarum bening yang
bertengger di pergelangan tangan, ia belum sholat magrib.
Pandangannya kini tertuju ke arah mushola diseberang sana. Jika ia menerobos deras ini, bisa dipastikan kuyup seluruhnya.Belum lagi harus tegok kanan-kiri waspada kendara laju cepat. Namun jika tidak segera, keburu isya’ yang memanggil. Hingga matanya menerawang, di dalam bias tatapan itu tersemat sebuah asa yang hanya perempuan itu yang tahu maknanya. Bibirnya kini basah melafadz do’a dan tahmid atas nikmat hujan yang turun. Sembari merefleksi langkahnya sejauh senja ini. Hingga tiba-tiba terkacaulah, dengan sesosok makhluk bernama ’ikhwan’ berpayung, melintas. Meliriknya sekali. Ah, bukan hal yang penting pikirnya.
Pandangannya kini tertuju ke arah mushola diseberang sana. Jika ia menerobos deras ini, bisa dipastikan kuyup seluruhnya.Belum lagi harus tegok kanan-kiri waspada kendara laju cepat. Namun jika tidak segera, keburu isya’ yang memanggil. Hingga matanya menerawang, di dalam bias tatapan itu tersemat sebuah asa yang hanya perempuan itu yang tahu maknanya. Bibirnya kini basah melafadz do’a dan tahmid atas nikmat hujan yang turun. Sembari merefleksi langkahnya sejauh senja ini. Hingga tiba-tiba terkacaulah, dengan sesosok makhluk bernama ’ikhwan’ berpayung, melintas. Meliriknya sekali. Ah, bukan hal yang penting pikirnya.
Masih terjadi syuro’ di pikirannya
:D antara lari dan tetep berteduh. Masih memeluk erat ransel dan coba mencari
cara. Hei, si ‘ikhwan’ itu lewat lagi. Kali ini melirik, lalu menatap selintas,
menunduk lagi. Sang ‘ikhwan’ itu baru saja keluar dari masjid depan, pasti
sudah sholat magrib, dan dapat jama’ah awal, cemburunya. Eh, sesuatu sempat
terlintas di pikir Fita, siapa ikhwan itu? Sedari lewat terus menatap? Agak
risih sebenarnya. Hingga, Fita berusaha mengingat-ingat, adakah ia mengenal
sosok laki-laki bercelana hitam congrang, bertubuh tegap tinggi itu, Fita
mencoba menerka. Hingga kesimpulannya, Fita tak mengenal, jadi anggap saja
angin lalu. Atau mungkin ia menatap tembok, kaca, atap, atau apapun dibelakang
berdirinya.
Jlep !. Sang ikhwan berbalik arah, kali ini sengaja
menyapa Fita. “Kamu ga bawa payung atau mantol ya? Sebentar ya, pake punya saya,
tak ambilkan…” sapa sang ‘ikhwan’. Tanpa
menunggu jawaban Fita, sosok itu pergi berlalu lagi. Mimik Fita semakin
mengerucut, keningnya mengerut, siapa dia? Hitungan menit berlalu, masih dengan
hati Fita yang dilema, sapa itu terdengar lagi. “Ini, payung dan mantolnya,
ambil saja…”
Ikhwan itu kembali lagi yang kini bersama mantol dan payung disodorkan.
“Oh maaf, terima kasih, tidak perlu repot.” Jawab Fita singkat. Toh, Fita tidak
mengenal orang ini, dan ia juga tak ingin merepotkan orang lain, sungguh tak
ingin, apalagi makhluk bernama ‘ikhwan’, hadeeh… tidak. “Sudah ambil saja, saya
ikhlas kok…” setengah paksa ikhwan itu. “Terima kasih, sekali lagi saya tak
ingin merepotkan orang lain…” bela Fita. “Saya ingin membantu, moso ditolak, ambil
saja, hujan deras…” ikhwan itu bersikukuh. “Maaf, terima kasih mas” jawab Fita
dengan harap sang ikhwan segera berlalu. Fita melirik sekilas mimik wajah ia
yang kecewa. “Oke, kalo begitu, bagaimana kalo saya pinjam saja, besok saya
kembalikan ke tempat ini juga?” tawar Fita yang berusaha mengalah dan
menghargai. “Jangan, belum tentu saya besok bisa mampir kesini, dan malah ribet
nantinya. Ini, mantol dan payungnya, pakailah…” bela sang ikhwan tak mau kalah.
Hingga percakapan senja itu masih bergulir mempertahankan prinsip
masing-masing. Yang satu ingin bersikeras membantu, yang lainya ingin
mempertahankan iffah (rasa tidak ingin meminta pertolongan atau memberatkan
orang lain, walaupun dalam keadaan sangat butuh sekalipun). “Begini, saya beli
saja payung dan mantolnya…” tawar Fita sekali lagi. “Tidak perlu, ini buat
kamu, bukan saya jual, ini saya taruh disini, terserah kamu!” ikhwan itu
belalu, segera menghilang dari depan pandang. Kalimatnya bernada ending kecewa.
Ini menatap payung dan mantol yang tergelatak tak jauh di hadapan.
Baru kali
ini ada orang yang niat menolong dengan agak paksa. Hmmm, ya sudah pake
sajalah, batin Fita. Fita bersama payung dan mantol melangkah menyeberang jalan
dengan perasaan tak karuan, warna hati celupan warna warni. Dasar ikhwan aneh… Hingga
ia lanjutkan lagi tahmid dan dzikirnya, diiring istigfar berkali-kali, bersama
payung yang mengiring langkah ditemani deras hujan senja itu.
#Cerita cetar membahana seorang akhwat saat kelas Hadis Arbain di PPMi Asma Amanina
, dengan beberapa editan :D
Tidak ada komentar:
Posting Komentar