Pages

Diberdayakan oleh Blogger.

Senin, 03 Februari 2014

Serial Asma Amanina (Episode: Pemandu dan Kelas)

Jam segini baru pulang. Masa-masa Pemilwa (pemilihan mahasiswa) memang masa terporsir pun banyak tekanan. Udah bawaan ransel berat, ada-ada saja yang menggugat, eh pulang-pulang sudah ditodong ke kelas. “Fitri.... hayok ke kelas”. Wajah masih kumel, punggung masih pegel, tubuh juga gerah seharian. Tapi sudah barangtentu, melihat pintu masih terbuka, dan lampu kamar masih menyala, mengundang pemandu yang lewat mengingatkan ke kelas.

Ngedumel. “Huh, pemandu pernah kuliah ga sih!” Sssshhhhhh... aku mendesah. Menghempaskan tubuhku di atas ranjang. Mulai perlahan memutar memori hari ini lagi. Semua terekam dengan baik, dan ini kembali membuatku berkunang-kunang. Mencoba menenangkan dengan memejamkan kedua mata. Mencoba mengambil udara dengan hembusan perlahan. Tanpa  komando, hati dan lisan seirama mengiring istigfar. Tak menghiraukan suara-suara sumbang di luar. Aku mulai tenang. Hingga, aku terlelap.

5 menit. Sekejap saja. “Fitri... hayok ke kelas... Ustad nanyain Fitri tuh” Sssssshhh. Pemandu lagi. Rasanya ingin ku pejamkan mata ini lagi dan menarik bantal untuk diapitkan ke telinga. Tapi... sosok itu sudah di depan mata, berdiri didepan ranjangku. “Fitri...katanya di Asma mau ‘belajar’...” Tanpa bla-bla-bla, berusaha menghadirkan senyum saat segera mengangkat tubuh dari baringan. Aku yakinkan segera ke kelas setelah mencuci muka sejenak.

Oke. Aku mengalah. Aku kalah. Baiklah, aku ke kelas. Aku ke kelas, sekedar karena tak enak pada Ustad. Itu saja. (krisis adab, ckckck -_-)

Aku sudah dalam posisi duduk manis di barisan paling belakang tengah. Menatap Ustad selintas, dan menatap santri-santri yang lain lekat-lekat. Menangkap beberapa santri yang menguap, kepala hampir tumbang, bahkan yang sudah tumbang. Meja ini nyaman sekali rasanya untuk sementara menggantikan bantal di kamar. Tiada salahnya pikirku. Buku dan alat tulis dipinggirkan, ambil ancang-ancang dan posisi paling wenak. Asyeik, aku siap merebahkan kepala. Ya meskipun tidak sempurna baringan rehat seperti di kasur empuk, setidaknya kepala yang berat ini bertumpu sejenak. Wwwwssssh...sempurna! Kepalaku sudah mengambil haknya atas meja. Meja yang multi fungsi, sebagai media menulis, sebagai media menaruh berbagai alat-tulis, atau sewaktu-waktu juga bisa jadi pengganti bantal.

5 menit. Sekejap saja! “Fitri...” Mengangkat kepalaku dengan malas. Menatap ke arah suara dan sentuhan tangan di punggungku. Pemandu!? Pemandu lagi. Kenapa tidak dari awal aku sadar kalau duduk di samping pemandu. Tidak bisa tidak, menarik kembali buku yang tadi sudah anteng ditutup di pinggir meja. Siap jadi santri yang baik. Mataku yang sayu menatap Ustad di depan. Mencoba memperhatikan, demi pemandu disamping kiriku ini. Aku dengar samar-samar... “Dari 3000 pasukan kaum muslimin, ternyataa.......” Tet. Sinyal putus. Tak kudengar lagi lanjutan kalimat itu. Dug! Kepalaku tumbang kedepan, mengenai topi jilbabku. Aku ngantuk berat.

Suasana kelas Asma Amanina

“Ituh, minum dulu...” tawar pemandu disampingku. Minum tiga teguk air. Oke, aku mulai lagi jadi santri baik. Menyimak. “Dari peristiwa inilah, Rasulullah ingin mengajarkan pada kita, tentang tsiqoh pada keputusan syuro’... Namun.....se.... me.... ge.... ” Sinyal putus-putus.Tit-tot. lalu hilang. Tak kudengar lagi kalimat lanjutan Ustad. Dug! Kepalaku tumbang lagi kedepan. Kini membentur hidungku. Aku terkanget. Mengangkat kepala. Mengarahkan pandangan ke samping. Pemandu di samping sudah dingin. Tak menoleh lagi. Aku, berusaha menyimak lagi, terulang lagi. Berkali-kali. Hingga tak sadar, kelas sudah usai.

Gontai meninggalkan kelas menuju kamar. Sudah menjadi kebiasaanku, punya ritual panjang sebelum tidur. Ambil wudhu dilanjutkan membaca surat-surat pilihan. Tapi sebelumnya, tegok hape jadi prioritas. Namun kebiasaan juga, kalau udah liat hape, apalagi buka facebook, wooow ngantuknya lenyap! Jadilah aku masih terjaga. Bergentayangan di facebook, promosi dan sebar pamflet agenda besar kampus yang juga sedang kugarap. Sms-an juga dilakoni. Berdiskusi tentang plan A dan plan B untuk mensukseskan agenda itu dengan seorang adik tingkat.“Sebenernya aku masih sangat berat mbak dengan keputusan syuro tadi sore...” Ckckck...permasalahan klasik. Perlu di luruskan ini. Hingga tiba-tiba teringat penggalan kalimat Ustad tadi di kelas: “Dari peristiwa inilah, Rasulullah ingin mengajarkan pada kita, tentang tsiqoh pada keputusan syuro’...” Huaah, hanya sepenggal kalimat itu yang ku tangkap. Mencoba mencari catatanku, meski kurang sadar, siapa tau aku mencatat lengkap.

Buku catatan masih tertinggal di atas meja kelas. Kreeeek! Membuka pintu perlahan. Lampu masih terang. Karena sudah dini hari, ku kira sudah tiada orang. Ternyata masih ada yang terjaga. Memperhatikan punggungnya, ah itu pemandu! Jadi beliau belum tidur. Sedang mengerjakan sesuatu. Tangannya gesit menulis di tumpukan lembaran kertas. Coba kutebak, sepertinya beliau sedang mengoreksi hasil ujian murid-muridnya di SMP tempatnya mengajar, atau sedang membuat soal ujian. Baiklah, aku tak kan membuat suara berisik yang mungkin akan menganggunya. Sebelum menutup gordeng kelas, refleks menoleh lagi memperhatikan beliau dari belakang, hingga beberapa detik. Tiba-tiba aku tersadar sesuatu...Diam sejenak... Jleb.Tertunduk, berjalan lemah menuju kamar.

Tentang gumelanku saat berat akan ke Kelas. Tentang niatan ikut kelas hanya karena tak enak pada ustad. Tentang ilmu yang terpenggal-penggal didapat. Tentang tidur di kelas. Tentang men-Jasge pemandu.

Tentang sebuah bersit hati “Pemandu pernah kuliah ga sih...”. Ah, justru, pemandu sudah menyelesaikan kuliahnya di Asma, menghatamkan berbagai mata kuliah di Asma, mentuntaskan tahsinnya...Hafalannya, Bahasa Arabnya, pun sekaligus kuliahnya dikampus, yang juga tentu dengan status aktifis kampus. Kampus yang tahun-tahun lalu mungkin jauh lebih berat beban ‘pengkaderannya’, justru lebih gempita himpitan dan gugatannya. Pun sekarang, di dunia kerja yang mungkin lebih warna-warni tekanannya dari dunia kampus. Jadi, siapa yang lebih waw grade lelahnya?

Terlepas dari seperti apa saat dulu mereka ikut kelas asma dengan status menjadi mahasiswi aktifis kampus sekaligus santri, pemandu telah mempersembahkan cinta dengan cara-cara mereka. Karena cara menunjukan cinta banyak perkara, tidak harus selalu dengan memberi sebuah senyum, tidak harus selalu dengan memberi bingkisan hadiah, tidak harus selau dengan memberi pujian, tidak harus selalu dengan mengatakan cinta... Namun, dengan ungkapan “Fitri... hayok ke kelas...” Itulah Cinta! Cinta pemandu ingin santrinya tetap semangat berjuang ke kelas, meski tubuh lelah seharian berjalan di medan dakwah kampus, jika niat ikhlas, maka yakinlah justru pahalanya berlipat ganda. “Fitri... hayok ke kelas...” Itulah Cinta! Cinta berlumur do’a...Cinta pemandu ingin santrinya tetap menyerap ilmu-ilmu yang bermanfaat, meski terkadang tumbang kepala dan merenda bulu mata, namun setidaknya perjuangan yang ikhlas menjemput ilmuNya inilah sarana mengapai ridhoNya. “Fitri... hayok ke kelas...” Itulah Cinta! Cinta pemandu ingin santrinya ikhlas ta’dzim dan menjaga Adab pada Ustad bukan sekedar rasa tidak enak, agar ilmunya manfaat. Membayangkan jika tidak ada pemandu yang peduli, “Oh Fitri baru pulang ya, ya udah tidur ajah” Kebayang? Teruuuuus sepanjang waktu demikian, maka hati ini akan mati dengan kebiasaan.

Sudah bukan masalah soal ngantuk di kelas... sudah bukan masalah soal merenda bulu mata saat ustad menjelaskan... sudah bukan masalah soal kalimat Ustad yang terdengar terpenggal-penggal... Semua tentang ikhlas. Ikhlas! Review rentetan target dan niat saat langkah pertama keputusan menjadi bagian dari keluarga ini. Dan itulah, yang seharusnya menjadi pelecut semangat meski tubuh selelah apapun!

Sudah rata-rata berkepada dua. Mungkin baiknya sudah tidak perlu pemandu lagi, biar nyadar sendiri, begitukah? Hmm, apa aku bisa? Apa aku akan terbangun dengan sendirinya dari tidurku lalu  nananina tiba-tiba di kelas? Mengandalkan ‘ammah-ammah santri yang lain, apakah selamanya bisa saling menyemangati, atau justru nanti malah konspirasi...? Ya Allah, ternyata, aku masih saja belajar...Belajar, cuma ingin jadi murabbiah harokiah, jadi madrasah pertama yang sholihah untuk anak-anak saat nanti berumah tangga ... Dan itulah Pemandu, dengan cinta mengarahkan, memberikan dukungan, memberi contoh, memberi semangat, mengingatkan, memberi senyum, mendiamkan, atau bersikap dingin sekalian... Memberi pujian, memberi peringatan, memberi jaminan, memberi keluesan, atau marah sekalian. Semua terserah kita, semua hanya soal ikhlas membalas cinta! Cintanya, dan cintaNYA...

Aku akan merindukan saat-saat ini suatu hari... Saat ini, syukur atas limpahan nikmatMu, Kau pertemukan aku pada orang-orang ‘pilihan’... disini, di Rumah Cahaya ini...
Jazakillah, my beloved musyrifah (Arab campur Inggris? :D)
*Tulisan ini sekedar untuk menyemangati diri sendiri agar ruhl istijabah (bersegera) ke kelas ;)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

 

Blogger news

Blogroll

About