Ngedumel. “Huh, pemandu
pernah kuliah ga sih!” Sssshhhhhh... aku mendesah. Menghempaskan tubuhku di
atas ranjang. Mulai perlahan memutar memori hari ini lagi. Semua terekam dengan
baik, dan ini kembali membuatku berkunang-kunang. Mencoba menenangkan dengan
memejamkan kedua mata. Mencoba mengambil udara dengan hembusan perlahan. Tanpa komando, hati dan lisan seirama mengiring
istigfar. Tak menghiraukan suara-suara sumbang di luar. Aku mulai tenang.
Hingga, aku terlelap.
5
menit. Sekejap saja. “Fitri... hayok ke kelas... Ustad nanyain Fitri tuh”
Sssssshhh. Pemandu lagi. Rasanya ingin ku pejamkan mata ini lagi dan menarik
bantal untuk diapitkan ke telinga. Tapi... sosok itu sudah di depan mata, berdiri
didepan ranjangku. “Fitri...katanya di Asma mau ‘belajar’...” Tanpa
bla-bla-bla, berusaha menghadirkan senyum saat segera mengangkat tubuh dari
baringan. Aku yakinkan segera ke kelas setelah mencuci muka sejenak.
Oke.
Aku mengalah. Aku kalah. Baiklah, aku ke kelas. Aku ke kelas, sekedar karena tak
enak pada Ustad. Itu saja. (krisis adab, ckckck -_-)
Aku
sudah dalam posisi duduk manis di barisan paling belakang tengah. Menatap Ustad
selintas, dan menatap santri-santri yang lain lekat-lekat. Menangkap beberapa santri
yang menguap, kepala hampir tumbang, bahkan yang sudah tumbang. Meja ini nyaman
sekali rasanya untuk sementara menggantikan bantal di kamar. Tiada salahnya
pikirku. Buku dan alat tulis dipinggirkan, ambil ancang-ancang dan posisi
paling wenak. Asyeik, aku siap merebahkan kepala. Ya meskipun tidak sempurna baringan
rehat seperti di kasur empuk, setidaknya kepala yang berat ini bertumpu
sejenak. Wwwwssssh...sempurna! Kepalaku sudah mengambil haknya atas meja. Meja
yang multi fungsi, sebagai media menulis, sebagai media menaruh berbagai
alat-tulis, atau sewaktu-waktu juga bisa jadi pengganti bantal.
5
menit. Sekejap saja! “Fitri...” Mengangkat kepalaku dengan malas. Menatap ke
arah suara dan sentuhan tangan di punggungku. Pemandu!? Pemandu lagi. Kenapa
tidak dari awal aku sadar kalau duduk di samping pemandu. Tidak bisa tidak,
menarik kembali buku yang tadi sudah anteng ditutup di pinggir meja. Siap jadi
santri yang baik. Mataku yang sayu menatap Ustad di depan. Mencoba
memperhatikan, demi pemandu disamping kiriku ini. Aku dengar samar-samar...
“Dari 3000 pasukan kaum muslimin, ternyataa.......” Tet. Sinyal putus. Tak
kudengar lagi lanjutan kalimat itu. Dug! Kepalaku tumbang kedepan, mengenai
topi jilbabku. Aku ngantuk berat.
Suasana kelas Asma Amanina |
“Ituh,
minum dulu...” tawar pemandu disampingku. Minum tiga teguk air. Oke, aku mulai
lagi jadi santri baik. Menyimak. “Dari peristiwa inilah, Rasulullah ingin
mengajarkan pada kita, tentang tsiqoh pada keputusan syuro’... Namun.....se....
me.... ge.... ” Sinyal putus-putus.Tit-tot. lalu hilang. Tak kudengar lagi
kalimat lanjutan Ustad. Dug! Kepalaku tumbang lagi kedepan. Kini membentur
hidungku. Aku terkanget. Mengangkat kepala. Mengarahkan pandangan ke samping.
Pemandu di samping sudah dingin. Tak menoleh lagi. Aku, berusaha menyimak lagi,
terulang lagi. Berkali-kali. Hingga tak sadar, kelas sudah usai.
Gontai
meninggalkan kelas menuju kamar. Sudah menjadi kebiasaanku, punya ritual
panjang sebelum tidur. Ambil wudhu dilanjutkan membaca surat-surat pilihan. Tapi
sebelumnya, tegok hape jadi prioritas. Namun kebiasaan juga, kalau udah liat
hape, apalagi buka facebook, wooow ngantuknya lenyap! Jadilah aku masih
terjaga. Bergentayangan di facebook, promosi dan sebar pamflet agenda besar
kampus yang juga sedang kugarap. Sms-an juga dilakoni. Berdiskusi tentang plan
A dan plan B untuk mensukseskan agenda itu dengan seorang adik tingkat.“Sebenernya
aku masih sangat berat mbak dengan keputusan syuro tadi sore...”
Ckckck...permasalahan klasik. Perlu di luruskan ini. Hingga tiba-tiba teringat
penggalan kalimat Ustad tadi di kelas: “Dari peristiwa inilah, Rasulullah ingin
mengajarkan pada kita, tentang tsiqoh pada keputusan syuro’...” Huaah, hanya
sepenggal kalimat itu yang ku tangkap. Mencoba mencari catatanku, meski kurang
sadar, siapa tau aku mencatat lengkap.
Buku
catatan masih tertinggal di atas meja kelas. Kreeeek! Membuka pintu perlahan.
Lampu masih terang. Karena sudah dini hari, ku kira sudah tiada orang. Ternyata
masih ada yang terjaga. Memperhatikan punggungnya, ah itu pemandu! Jadi beliau
belum tidur. Sedang mengerjakan sesuatu. Tangannya gesit menulis di tumpukan
lembaran kertas. Coba kutebak, sepertinya beliau sedang mengoreksi hasil ujian
murid-muridnya di SMP tempatnya mengajar, atau sedang membuat soal ujian. Baiklah,
aku tak kan membuat suara berisik yang mungkin akan menganggunya. Sebelum menutup
gordeng kelas, refleks menoleh lagi memperhatikan beliau dari belakang, hingga
beberapa detik. Tiba-tiba aku tersadar sesuatu...Diam sejenak... Jleb.Tertunduk,
berjalan lemah menuju kamar.
Tentang
gumelanku saat berat akan ke Kelas. Tentang niatan ikut kelas hanya karena tak
enak pada ustad. Tentang ilmu yang terpenggal-penggal didapat. Tentang tidur di
kelas. Tentang men-Jasge pemandu.
Tentang
sebuah bersit hati “Pemandu pernah kuliah ga sih...”. Ah, justru, pemandu sudah
menyelesaikan kuliahnya di Asma, menghatamkan berbagai mata kuliah di Asma,
mentuntaskan tahsinnya...Hafalannya, Bahasa Arabnya, pun sekaligus kuliahnya
dikampus, yang juga tentu dengan status aktifis kampus. Kampus yang tahun-tahun
lalu mungkin jauh lebih berat beban ‘pengkaderannya’, justru lebih gempita
himpitan dan gugatannya. Pun sekarang, di dunia kerja yang mungkin lebih
warna-warni tekanannya dari dunia kampus. Jadi, siapa yang lebih waw grade
lelahnya?
Terlepas dari seperti apa saat dulu mereka ikut kelas asma dengan
status menjadi mahasiswi aktifis kampus sekaligus santri, pemandu telah
mempersembahkan cinta dengan cara-cara mereka. Karena cara menunjukan cinta banyak perkara, tidak harus selalu dengan
memberi sebuah senyum, tidak harus selalu dengan memberi bingkisan hadiah, tidak
harus selau dengan memberi pujian, tidak harus selalu
dengan mengatakan cinta... Namun, dengan ungkapan “Fitri... hayok ke kelas...”
Itulah Cinta! Cinta pemandu ingin santrinya tetap
semangat berjuang ke kelas, meski tubuh lelah seharian berjalan di medan dakwah
kampus, jika niat ikhlas, maka yakinlah justru pahalanya berlipat ganda. “Fitri...
hayok ke kelas...” Itulah Cinta! Cinta berlumur do’a...Cinta pemandu ingin
santrinya tetap menyerap ilmu-ilmu yang bermanfaat, meski terkadang tumbang
kepala dan merenda bulu mata, namun setidaknya perjuangan yang ikhlas menjemput
ilmuNya inilah sarana mengapai ridhoNya. “Fitri... hayok ke kelas...” Itulah
Cinta! Cinta pemandu ingin santrinya ikhlas ta’dzim dan menjaga Adab pada
Ustad bukan sekedar rasa tidak enak, agar ilmunya manfaat. Membayangkan jika tidak
ada pemandu yang peduli, “Oh Fitri baru pulang ya, ya udah tidur ajah”
Kebayang? Teruuuuus sepanjang waktu demikian, maka hati ini akan mati dengan
kebiasaan.
Sudah
bukan masalah soal ngantuk di kelas... sudah bukan masalah soal merenda bulu
mata saat ustad menjelaskan... sudah bukan masalah soal kalimat Ustad yang
terdengar terpenggal-penggal... Semua tentang ikhlas. Ikhlas! Review rentetan
target dan niat saat langkah pertama keputusan menjadi bagian dari keluarga
ini. Dan itulah, yang seharusnya menjadi pelecut semangat meski tubuh selelah
apapun!
Sudah
rata-rata berkepada dua. Mungkin baiknya sudah tidak perlu pemandu lagi, biar
nyadar sendiri, begitukah? Hmm, apa aku bisa? Apa aku akan terbangun dengan
sendirinya dari tidurku lalu nananina
tiba-tiba di kelas? Mengandalkan ‘ammah-ammah santri yang lain, apakah
selamanya bisa saling menyemangati, atau justru nanti malah konspirasi...? Ya Allah,
ternyata, aku masih saja belajar...Belajar, cuma ingin jadi murabbiah harokiah,
jadi madrasah pertama yang sholihah untuk anak-anak saat nanti berumah tangga
... Dan itulah Pemandu, dengan cinta mengarahkan, memberikan dukungan, memberi
contoh, memberi semangat, mengingatkan, memberi senyum, mendiamkan, atau bersikap
dingin sekalian... Memberi pujian, memberi peringatan, memberi jaminan, memberi
keluesan, atau marah sekalian. Semua terserah kita, semua hanya soal ikhlas
membalas cinta! Cintanya, dan cintaNYA...
Aku
akan merindukan saat-saat ini suatu hari... Saat ini, syukur atas limpahan nikmatMu,
Kau pertemukan aku pada orang-orang ‘pilihan’... disini, di Rumah Cahaya ini...
Jazakillah, my
beloved musyrifah (Arab campur Inggris? :D)
*Tulisan ini sekedar untuk menyemangati diri sendiri agar ruhl istijabah (bersegera) ke kelas ;)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar