Pages

Diberdayakan oleh Blogger.

Minggu, 20 Oktober 2013

Kini Redup Cahayanya

Takbiran spesial. Untuk pertama kalinya Fida ikut takbiran keliling, bersama remaja, anak-anak, dan semua warga kampung. Iring-iringan rebana dan beduk yang dibawa di atas mobil sejenis mobil angkot, ditambah dengan kami panitia membawa dua drum kecil dari kampus, menambah suasana meriah takbiran malam itu.
“Allaahu akbar… Allaahu akbar… Allaahu akbar… Laailaa haillaah huallaah huakbar…
Allaahu akbar… waillaah ilham…”
Hati siapa tiada tersentuh mendengar kumandang takbiran dua hari raya. Terutama bagi mereka yang jarang pulang ke kampung halaman. Fida, sedikit terobati dengan hadirnya bocil-bocil yang semangat membawa obor berjalan bersama tanpa mengenal lelah dengan kaki-kaki kecil mereka. Ada juga beberapa kakak kiri dan kanan bernasib sepura, tidak pulang. Jadi, senyum itu tetap merekah. Canda bersama mereka tetap menyenangkan. Meski bayang-bayang ibu dan ayah di seberang pulau sana sesekali hadir dirindukan.
“Allaahu akbar… Allaahu akbar… Allaahu akbar… Laailaa haillaah huallaah huakbar…
Allaahu akbar… waillaah ilham…”
Masih asyik takbiran. Jarak tempuh yang cukup jauh, dan jalan yang gelap karena jarang ada penjerangan jalan, membuat Fida dan beberapa teman-teman menunduk sepanjang jalan. Jalan perkampungan yang penuh batu dan kerikil, gelap, ditambah suasana kebun dikiri dan kanannya. Tersenyum merasakan dahyatnya nikmatMU ya Rabb… Tidak dengan keluarga di kampung, di sini sudah terasakan nikmatnya bersama keluarga seiman. Ah, artinya tetap saja sesekali bayang ayah dan ibu hadir.
“Dret….Dret…Dret…” Handphoneku bergetar dalam saku jaket. Membaca pengirim pesan yang tambil di layar depan handphone, dari Dek Titin, si bungsu. Ia menyampaikan maaf lahir batin. Ah, aku jadi lucu, teringat bahwa di kampung halamanku, baik Lebaran Idul Fitri maupun Idul Adha, kebiasaan yang selalu dijaga adalah meminta maaf. Tak lama kemudian, satu sms masuk lagi. Kali ini dari adikku yang pertama, Yuda. Begitupun dengan adik cowokku ini, mengucapkan hal serupa. Membalas sms mereka berdua, menceritakan apa aktifitasku kini di malam takbiran, juga menanyakan kabar mereka dan keluarga.
Tersenyum bahagia, memasukkan handphone kembali ke saku jaket, saat kalimat penutup sms sama-sama bernada jaga kesehatan. Ah, sungguh aku merindukan mereka berdua, rindu serindu-rindunya. Lamunanku melayang membayangkan mereka yang sudah semakin dewasa. Ya Allaah, lindungi mereka dari fitnah dunia…
“Dret…. Dret… Dret…” satu pesan masuk lagi. Kali ini dari Ibu. Ibu menanyakan kabar, juga menanyakan aktifitasku, menanyakan kuliahku, menanyakan uang beasiswaku… Membari emot senyum … Memberi kalimat penyemangat… Terbayang wajah cantik ibu. Senyum-senyum sendiri Fida kini. Karena sudah biasa lebaran tidak pulang, jadilah senyum Fida tetap menyejukkan. Namun, di ujung kalimat ibu yang sempat membuat Fida sesak: Kak Widi dirawat dirumah sakit !  Ya Allah, Kak Widi…
Langkahku sempat terhenti. Sejenak minggir dari barisan rombongan, untuk minum air putih. Menarik nafas yang panjang, hanya lantunan do’a yang bisa Fida lakukan…
Ia adalah cahaya, mentari pagi yang selalu memberi sinar saat awal perjalananku. Dulu, ia mengenalkanku pada sahabat-sahabat ikhwah, teman-teman TPA dan para pengajarnya, tentang ukhuwah, tentang syuro’ remaja kampung, tentang memberi kado pada saudara, tentang saling memafkan karena ukhuwah. Ah, Fida merindukannya.
Kak Widi, bukanlah kakak kandung Fida. Kami hanya tetangga rumah. Rumahnya persis di belakang rumah Fida. Sudah seperti keluarga sendiri. Sepeninggal almh.Kak Wida, kakak kandung Fida, Kak Widi lah peran yang Fida rasa begitu menggantikan. Kemana-mana berdua. Paling berharga adalah, ia telah mengajarkan Fida banyak hal. Ia adalah kakak Fida yang sholihah, yang telah mewarnai jalan ini. Fida tak ingin cahaya itu hanya redup… Semoga bercahaya lagi, untuk orang-orang sekitarnya. Angkatlah segala penyakit dari tubuhnya ya Rabb, aamiin… Miss you…

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

 

Blogger news

Blogroll

About