Pages

Diberdayakan oleh Blogger.

Jumat, 20 September 2013

Kapasitas vs. Keberterimaan



Berdua saja. Teras bangunan sekolah alam, dalam sebuah acara. Sengaja Menyudut, disaat yang lain masih khusyuk dengan agenda malam: diskusi di dalam sana. Berdua, duduk diujung koridor luar. Beratapkan langit, bersama tari-tari kecil dedaun ditiup angin malam yang dingin. Dari guratan senyumnya, ia menaruh sejuta harap pada yang mata yang dipandang. Aku tak sanggup menatap lebih lama. Biarkan komunikasi dan prosesi lobi ini tanpa aku harus membalas tatapannya.


            “Menataplah ke depan, kita tidak hanya berfikir untuk sekarang. Benar bahwa kita lah yang tau tentang kapasitas diri, namun terkadang persepsi itu hanya berasal dari keragu-raguan atau bahkan ketakutan. Yakinkah bahwa pernyataan itu hadir dari keyakinan yang mendasar, atau justru hanya bisikan syetan?” Ia menatap kembali. Aku hanya menatap langit dengan kepekatan tatapan.


            Ia melanjutkan kembali. “Setiap pertanyaan yang ‘ammah haturkan, Anti selalu saja bisa menjawab dengan cerdas, bisa mengelak dengan jawaban cerdas, lagi-lagi. Justru itu, justru karena Anti faham.” Ia masih penuh harap. 

            “Ini bukan hanya persoalan faham atau tidak, bukan persoalan kapasitas kefahaman saja. Bukan persoalan siapa yang lebih sholih. Sama halnya dengan ketika dihadapkan dengan kasus hampir serupa, dalam memilih pemimpin, ada dua orang kandidat. Satu orang yang sholih namun tidak supel. Satunya lagi adalah orang yang supel meski tidak begitu sholih. Mana yang ahsan kita pilih? Pilihah orang kedua, orang yang supel meski tidak begitu sholih. Kenapa? Karena biasanya, orang yang supel meski tidak begitu sholih ini, ia akan mampu menghandle dan mewarnai sekitarnya dengan mudah. Sedangkan orang yang sholih namun tidak supel, ia hanya akan mampu mensholihkan dirinya sendiri. Apa lagi. Jelas, semua jelas, saya tidak bisaa…tidak bisaaa mah…afwaan…” Diujung kalimat, suara mulai serak.

            “Siapa diantara kami yang paling dekat dengan mad’u? si B, bukan Fida Mah… Justru, faktor keberterimaan itulah yang patut diprioritaskan, dibandingkan dengan tingkat kefahaman. Kefahaman dapat diajarkan dan dibelajarkan… aku hanya ingin yang terbaik untuk ini…”

            Mendongakkan kepala sesekali, agar tidak tumpah seketika. Tak memperdulikan lagi beliau yang tetap menatap, karena mata itu… mata itu akan melemahkanku… Mata yang dengannya dulu aku menerima lamaran pertama dengan amanah yang sekarang dijalani. Bukannya takut dengan amanah, tidak. Namun? Entahlah, tidak bisa, tidak sesederhana ini…. Ia menggeser sedikit kacamatanya, mengusap mata sebelah kanan, entahlah. Mungkin ‘ammah Pika hampir basah pipinya.



            “Aku memang egois. Memikirkan kuliahku, memikirkan diri saja. Mah, Fida sayang lembaga ini, sayang. Justru karena Fida sayang, justru karena Fida mulai berfikir kedepan. Mengapa tidak option ke dua? Fida yakin, si B mampu kita backup persoalan kefahaman dan afiliasi…” aku, masih pada argumen.

            “Tidak semudah itu sayang.” Ia menyentuh lengan tanganku. Seketika, hatiku lemah. Mataku mulai berkaca-kaca lagi, siap tumpah. “Selama ini sudah dicoba. Namun, tidak sesimple itu. Tipe orang yang demikian untuk mengarah pada membina saja tidak mau, bagaimana berafiliasi? Jika tidak Anti, bayangkan akan seperti apa lembaga ini kedepan? Fida tega dengan semua itu?” Suaranya makin berintonasi dalam. Aku terdiam, menyembunyikan mataku.

            “’Ammah mohon keputusan ini difikirkan kembali.” Tutupnya menunduk. Aku tetap egois. “Cukup. Fida faham, keputusan syuro’ memang mengikat, namun tidak memaksakan…” jawabku justru agak sinis. Tidak memperhatikan lagi perasaan yang begitu mudah tersentuh disisi. “Tidak ada yang memaksa Fida… Semua orang hanya mempersembahkan mengupayakan cinta, estafet dakwah ini…” Suaranya lirih.  Tak memperdulikan ujung kalimat, begitu saja aku timpali segera. “Keputusan syuro’ dapat diubah saat ada syuro’ berikutnya. Pun jika tidak ada, dalam majelis syuro akbar itu Fida akan menolak terang-terangan. Afwan, pantang bagi Fida sebenarnya menolak sesuatu yang sudah sah menjadi keputusan bersama, syuro’. Namun afwan untuk kali ini Mah jika itu akan terjadi. Karena kandidat yang akan dicalonkan untuk memimpin, tetap punya hak untuk menyampaikan keberatan diri…” timbalku tegas. Aku? Terlalu tega dengan kata-kata itu.

            Hampir pukul sepuluh malam. Setengah jam lamanya saling berarguman. Ia meninggalkanku sendiri di koridor. Masih memperhatikan langkah pergi itu. Sudah cukup ditahan. Tumpah sudah. Pipiku basah. Sesegukan kini. Menutup wajah dengan kedua tapak tangan. Tubuh jadi lemah. Tak kuasa dengan ucapanku sendiri. Setega itukah aku? Namun aku memang tidak ‘pantas’. Maafkan aku…
           

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

 

Blogger news

Blogroll

About