Berdua
saja. Teras bangunan sekolah alam, dalam sebuah acara. Sengaja Menyudut, disaat
yang lain masih khusyuk dengan agenda malam: diskusi di dalam sana. Berdua, duduk
diujung koridor luar. Beratapkan langit, bersama tari-tari kecil dedaun ditiup
angin malam yang dingin. Dari guratan senyumnya, ia menaruh sejuta harap pada
yang mata yang dipandang. Aku tak sanggup menatap lebih lama. Biarkan
komunikasi dan prosesi lobi ini tanpa aku harus membalas tatapannya.
“Menataplah
ke depan, kita tidak hanya berfikir untuk sekarang. Benar bahwa kita lah yang tau
tentang kapasitas diri, namun terkadang persepsi itu hanya berasal dari
keragu-raguan atau bahkan ketakutan. Yakinkah bahwa pernyataan itu hadir dari
keyakinan yang mendasar, atau justru hanya bisikan syetan?” Ia menatap kembali.
Aku hanya menatap langit dengan kepekatan tatapan.
Ia
melanjutkan kembali. “Setiap pertanyaan yang ‘ammah haturkan, Anti selalu saja bisa menjawab dengan cerdas, bisa
mengelak dengan jawaban cerdas, lagi-lagi. Justru itu, justru karena Anti
faham.” Ia masih penuh harap.
“Ini
bukan hanya persoalan faham atau tidak, bukan persoalan kapasitas kefahaman
saja. Bukan persoalan siapa yang lebih sholih. Sama halnya dengan ketika
dihadapkan dengan kasus hampir serupa, dalam memilih pemimpin, ada dua orang
kandidat. Satu orang yang sholih namun tidak supel. Satunya lagi adalah orang
yang supel meski tidak begitu sholih. Mana yang ahsan kita pilih? Pilihah orang
kedua, orang yang supel meski tidak begitu sholih. Kenapa? Karena biasanya,
orang yang supel meski tidak begitu sholih ini, ia akan mampu menghandle dan
mewarnai sekitarnya dengan mudah. Sedangkan orang yang sholih namun tidak
supel, ia hanya akan mampu mensholihkan dirinya sendiri. Apa lagi. Jelas, semua
jelas, saya tidak bisaa…tidak bisaaa mah…afwaan…” Diujung kalimat, suara mulai
serak.
“Siapa
diantara kami yang paling dekat dengan mad’u? si B, bukan Fida Mah… Justru,
faktor keberterimaan itulah yang patut diprioritaskan, dibandingkan dengan
tingkat kefahaman. Kefahaman dapat diajarkan dan dibelajarkan… aku hanya ingin
yang terbaik untuk ini…”
Mendongakkan
kepala sesekali, agar tidak tumpah seketika. Tak memperdulikan lagi beliau yang
tetap menatap, karena mata itu… mata itu akan melemahkanku… Mata yang dengannya
dulu aku menerima lamaran pertama dengan amanah yang sekarang dijalani.
Bukannya takut dengan amanah, tidak. Namun? Entahlah, tidak bisa, tidak
sesederhana ini…. Ia menggeser sedikit kacamatanya, mengusap mata sebelah kanan,
entahlah. Mungkin ‘ammah Pika hampir basah pipinya.
“Aku
memang egois. Memikirkan kuliahku, memikirkan diri saja. Mah, Fida sayang
lembaga ini, sayang. Justru karena Fida sayang, justru karena Fida mulai berfikir
kedepan. Mengapa tidak option ke dua? Fida yakin, si B mampu kita backup
persoalan kefahaman dan afiliasi…” aku, masih pada argumen.
“Tidak
semudah itu sayang.” Ia menyentuh lengan tanganku. Seketika, hatiku lemah.
Mataku mulai berkaca-kaca lagi, siap tumpah. “Selama ini sudah dicoba. Namun,
tidak sesimple itu. Tipe orang yang demikian untuk mengarah pada membina saja tidak
mau, bagaimana berafiliasi? Jika tidak Anti, bayangkan akan seperti apa lembaga
ini kedepan? Fida tega dengan semua itu?” Suaranya makin berintonasi dalam. Aku
terdiam, menyembunyikan mataku.
“’Ammah
mohon keputusan ini difikirkan kembali.” Tutupnya menunduk. Aku tetap egois. “Cukup.
Fida faham, keputusan syuro’ memang mengikat, namun tidak memaksakan…” jawabku justru
agak sinis. Tidak memperhatikan lagi perasaan yang begitu mudah tersentuh
disisi. “Tidak ada yang memaksa Fida… Semua orang hanya mempersembahkan mengupayakan
cinta, estafet dakwah ini…” Suaranya lirih. Tak memperdulikan ujung kalimat, begitu saja
aku timpali segera. “Keputusan syuro’ dapat diubah saat ada syuro’ berikutnya.
Pun jika tidak ada, dalam majelis syuro akbar itu Fida akan menolak
terang-terangan. Afwan, pantang bagi Fida sebenarnya menolak sesuatu yang sudah
sah menjadi keputusan bersama, syuro’. Namun afwan untuk kali ini Mah jika itu
akan terjadi. Karena kandidat yang akan dicalonkan untuk memimpin, tetap punya
hak untuk menyampaikan keberatan diri…” timbalku tegas. Aku? Terlalu tega
dengan kata-kata itu.
Hampir
pukul sepuluh malam. Setengah jam lamanya saling berarguman. Ia meninggalkanku
sendiri di koridor. Masih memperhatikan langkah pergi itu. Sudah cukup ditahan.
Tumpah sudah. Pipiku basah. Sesegukan kini. Menutup wajah dengan kedua tapak
tangan. Tubuh jadi lemah. Tak kuasa dengan ucapanku sendiri. Setega itukah aku?
Namun aku memang tidak ‘pantas’. Maafkan aku…
Tidak ada komentar:
Posting Komentar