Raja siang begitu perkasa menampakkan diri utuhnya.
Sengatnya kadang dicaci, kadang juga dimanfaatkan untuk keperluan rumahtangga.
Aku masih berjalan menelusuri sepanjang jalan raya Gejayan pinggir kiri. Wajah
ini semakin bermandikan peluh keringat karna gerah. Tanganpun tak sudahnya
menggapai saputangan mengelap dahi. Sesekali mengibaskan saputangan itu untuk
menghasilkan angin buatan.

Itulah, tiga pekan yang lalu, aku sempat melihatnya duduk
sendiri di bangku panjang ini. Aku tak sempat turun dari laju motorku, lagi-lagi
aku tak sempat menyapanya. Sudah kali ke tiga aku duduk dan menunggu ia sang
ukhti… Ia tak kunjung tampak sejauh mata memandang.
Matahari condong perlahan menghadap ke barat. Jalan raya
semakin padat merayap. Toko buku itupun tak luput sepi dari pembeli. Lahan
parkir semakin penuh, dan sudah ada tiga orang lain yang kini duduk di bangku
panjang sampingku. Reflek menaruh pandang kepada setiap mereka yang mendekat
dan memasuki toko. Aku masih sangat berharap ia datang. Sembari memandangi kue
pukir di tanganku, hanya kupandangi.
Minggu esok harinya, dengan jam yang sama, aku kembali. Di depan kaca sebuah toko buku, bangku kayu panjang. Menunggu harap sosok Ukhti datang. Pandangan yang semakin tertunduk. Hati ku berkabut, kecewa atau sedih seharusnya? Setiap orang yang lewat sudah tak kuhiraukan lagi. Putus asa itu tiba-tiba merasuk.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar